Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti
membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt.
Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata
tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa
dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang
debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang
kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat
debitor. Menurut Siti Soemarti Hartono Pailit adalah mogok melakukan
pembayaran.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun
2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan
pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua
kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata
Bankrupct adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dimana
semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih atau persero-persero
Sejarah Dan Perkembangan Aturan Kepailitan Di Indonesia
Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek
Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan
Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III
KUHD. Namun akhirnya aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan
kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning
yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad
No. 348 Tahun 1906. Arti kata Failisment Verordenning itu sendiri
diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam. Ada yang
menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi
Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan
akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan
sebagai Undang-Undang Kepailitan (UUPK).
Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku
dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun
1998 atau berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang
Aturan ini sempat tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan
oleh Pemerintah Penjajah Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan
pada masa itu. Akan tetapi setelah Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan
Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan
banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu
PERPU No. 1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang
Kepailitan peninggalan Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU
itu sendiri masih sama dengan aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU
ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam
perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk hukum yang baru mengenai Kepailitan
yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4 tahun 1998.
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan
yang lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
1. Pada Failisment
Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas
waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan
menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas
waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam
penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
2. Pada Failisment
Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau
Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta
Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1
Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
3. Upaya Hukum Banding
dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian kasus kepailitan
yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun
1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal
tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus
apabila Banding diperbolehkan.
4. Dalam Aturan yang
baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang
dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki
izin praktek.
5. Dalam UU No. 37 Tahun
2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan kepailitan.
Pertanyaan: UU Kepailitan melindungi siapa? apakah
Melindungi Pihak Kreditor atau Debitor?
Jawab: Melndungi hak kedua-dua pihak baik kreditor maupun debitor, hal tersebut
terdapat dalam pasal-pasal UUK. Mengenai Pasal-pasal tersebut dapat dilihat
dalam pembahasan mengenai Hukum Kepailitan selanjutnya.
Syarat-Syarat Untuk Mengajukan Permohonan Pailit
- Terdapat Lebih dari satu Kreditor, adapun dapat
dikatakan lebih dari satu Hutang.
- Dari Hutang-utang tersebut terdapat salah satu Hutang
yang sudah Jatuh Tempo dan Dapat Ditagih.
Siapakah Yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit?
Adapun Udang-undang mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan
Pailiit, yaitu:
1. Pihak Debitor itu
sendiri
2. Pihak Kreditor
3. Jaksa, untuk
kepentingan umum
4. Dalam hal Debitornya
adalah Bank, maka pihak yang berhak mengajukan permohonan pailit adalah Bank
Indonesia
5. Dalam hal Debitornya
adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, maka pihak yang hanya dapat mengajukan permohonan
pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
6. Dalam hal Debitornya
adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-Asuransi, Dana Pensiun, dan BUMN yang
bergerak di bidang kepentingan Publik maka pihak yang mengajukan adalah Mentri
Keuangan.
Yang perlu diingat sehubungan dengan para pihak-pihak yang
mengajukan permohonan pailit harus dapat diketahui apabila seorang pemohon
tersebut adalah Debitor orang-perorangan dalam prosesnya maka harus ditinjau
terlebih dahulu apakah pihak tersebut masih terikat dalam suatu perkawinan dan
apakah perkawinan tersebut mempunyai perjanjian pemisahan harta?. Hal sangat
penting sekali sebab orang yang terikat dalam suatu perkawinan(baik suami
maupun istri) yang tidak mempunyai perjanjian pemisahan harta (maka ada harta
bersama/campuran) tidak dapat mengajukan permohonan pailit tanpa sepengetahuan
pasangannya(suami /istri) , adapun alasannya arena pailit itu mempunyai akibat
hukum terhadap harta.
Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa
ketentuan antara lain:
- UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran;
- UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
- UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
- UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
- Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
- Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur
Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995),
Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992 Sumber : http://hukum-area.blogspot.com/2009/11/hukum-kepailitan-pengantar.html