Sabtu, 22 Desember 2012

Euforia Menyambut Jokowi

Terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 meninggalkan catatan yang fenomenal. Baik secara personality hingga ke ranah politis. Banyak sisi menarik yang layak dikupas dan dibahas seputar profil ‘Si Tukang Kayu’ itu, bahkan Jokowi mampu menjungkirbalikkan konstelasi politik di daerah yang selama ini terkenal dengan kemapanan politiknya.


Tidak dapat dipungkiri lagi, Jokowi mampu ‘menyihir’ perpolitikan nasional dengan gayanya yang khas, hal ini sebanding dengan adagium; suara rakyat adalah suara Tuhan!!! Sampai-sampai tujuh stasiun telivisi nasional menayangkan secara langsung pelantikannya (Senin, 15/10) sebagai Gubernur hal ini benar-benar sebuah fenomena yang tidak akan dapat dicerna dengan singkat.

Bahkan warga Kota Solo pun setengahnya ‘keberatan’ atas terpilihnya Jokowi tersebut. Kenyataan ini justru sebagai bukti bagaimana Jokowi mampu menempatkan rakyat pada posisi yang semestinya.
Namun demikian ada beberapa hal yang layak dicermati bagi warga Solo sepeninggal Jokowi ke Jakarta. Pertama, adalah keberlanjutan kepemimpinan yang selanjutnya akan dipimpin FX. Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo. Sementara, prosesi suksesi Wawali sebenarnya akan menjadi titik balik keberlanjutan ‘masa keemasan’ Kota Solo kedepan. Bila kurang tepat dalam memilih Wawali tidak tertutup kemungkinan prestasi yang diraih Solo selama ini dapat menguap karena akan terputusnya gaya kepemimpinan ‘cerdas kreatif’ yang dirintis Jokowi selama ini dan bahkan ancaman konflik pun dapat memuncak.

Kedua, program pembangunan yang telah tertuang dalam RPJMD hasil penginggalan Jokowi perlu mendapat penajaman dibeberapa sisi; terutama masalah kesehatan dan kebersihan. Salah satu prestasi yang tidak mampu diraih Jokowi adalah Adipura. Memang bukan suatu ukuran baku akan prestasi pemerintahan, namun sesuai kemanfaatan ditengah masyarakat bidang ini memiliki urgensi yang sangat vital. Dalam hal manajemen pengelolaan sampah, Kota Solo harus segera berbenah agar kedepan tidak menjadi beban yang semakin sulit diurai.

Ketiga, adalah partisipasi warga masyarakat dalam keikutsertaannya menjadikan Kota Solo seperti apa yang telah diidealitakan Jokowi. Masih banyak katub-katub partisipasi masyarakat yang tersumbat. Dan hal ini tidak saja menjadi tanggungjawab Pemkot Solo untuk membukanya, namun semua pemangku kepentingan (stake holder) harus meletakkan kesadaran bahwa partisipasi masyarakat adalah syarat mutlak keberlangsungan pembangunan yang demokratis. Ambil contoh adalah partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan di tingkat paling bawah (RT/RW) hingga Musrenbangkel; ternyata masih sering terjadi proses perencanaan pembangunan itu yang dilakukan secara srampangan karena hanya mengejar formalitas, belum mampu menyentuh pada substansi perencanaan pembangunan.

Masih ada satu fenomena setelah kepindahan Jokowi ke Jakarta yang perlu mendapat perhatian; hal itu adalah euforia. Ya kemenangan Jokowi memang membuat beberapa kelompok masyarakat meluapkan kegembiraan sebagai ungkapan kekaguman, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja. Akan menjadi sesuatu yang ganjil dan kurang elegan manakala ada upaya mobilisasi pejabat publik (Camat dan Lurah) untuk 
mengungkapkan euforia itu secara masif. Apakah acara pamitan beberapa waktu lalu masih dirasa kurang? Dengan dalih apapun; seperti kunjungan kerja, misalnya, namun kenyataannya waktunya menjadi tidak tepat.

Ungkapan rasa hormat, nderekaken tindak (menghantar) ini justru menjadi kontra produkstif dengan image Jokowi selama ini? Bukankah Jokowi dipandang berhasil memegang tampuk pemerintahan di Solo, dan harapannya; keberhasilan itu adalah blue print yang akan diterapkan di Jakarta? Tetapi mengapa Camat dan Lurah malah kunker ke Jakarta Barat? Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar; kalau pejabat Kota Solo saja kunker ke Jakarta, lalu apa yang dapat diperbuat Jokowi nantinya?!
Moga-moga ‘kunker’ kali ini hanyalah upaya main-main dalam mensiasati beaya, tidak sampai menyentuh urgensi masalah didepan tadi dan sebatas ungkapan euforia saja….

Monggo sedulur, sareng-sareng sak untawis ngraosaken eufori

 sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/16/euforia-menyambut-jokowi/501624/