Tidak dapat dipungkiri lagi, Jokowi mampu
‘menyihir’ perpolitikan nasional dengan gayanya yang khas, hal ini
sebanding dengan adagium; suara rakyat adalah suara Tuhan!!!
Sampai-sampai tujuh stasiun telivisi nasional menayangkan secara
langsung pelantikannya (Senin, 15/10) sebagai Gubernur hal ini
benar-benar sebuah fenomena yang tidak akan dapat dicerna dengan
singkat.
Bahkan warga Kota Solo pun setengahnya ‘keberatan’
atas terpilihnya Jokowi tersebut. Kenyataan ini justru sebagai bukti
bagaimana Jokowi mampu menempatkan rakyat pada posisi yang semestinya.
Namun demikian ada beberapa hal yang layak dicermati bagi warga Solo sepeninggal Jokowi ke Jakarta. Pertama,
adalah keberlanjutan kepemimpinan yang selanjutnya akan dipimpin FX.
Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Solo. Sementara, prosesi suksesi Wawali
sebenarnya akan menjadi titik balik keberlanjutan ‘masa keemasan’ Kota
Solo kedepan. Bila kurang tepat dalam memilih Wawali tidak tertutup
kemungkinan prestasi yang diraih Solo selama ini dapat menguap karena
akan terputusnya gaya kepemimpinan ‘cerdas kreatif’ yang dirintis Jokowi
selama ini dan bahkan ancaman konflik pun dapat memuncak.
Kedua, program pembangunan
yang telah tertuang dalam RPJMD hasil penginggalan Jokowi perlu
mendapat penajaman dibeberapa sisi; terutama masalah kesehatan dan
kebersihan. Salah satu prestasi yang tidak mampu diraih Jokowi adalah
Adipura. Memang bukan suatu ukuran baku akan prestasi pemerintahan,
namun sesuai kemanfaatan ditengah masyarakat bidang ini memiliki urgensi
yang sangat vital. Dalam hal manajemen pengelolaan sampah, Kota Solo
harus segera berbenah agar kedepan tidak menjadi beban yang semakin
sulit diurai.
Ketiga, adalah partisipasi warga
masyarakat dalam keikutsertaannya menjadikan Kota Solo seperti apa yang
telah diidealitakan Jokowi. Masih banyak katub-katub partisipasi
masyarakat yang tersumbat. Dan hal ini tidak saja menjadi tanggungjawab
Pemkot Solo untuk membukanya, namun semua pemangku kepentingan (stake holder)
harus meletakkan kesadaran bahwa partisipasi masyarakat adalah syarat
mutlak keberlangsungan pembangunan yang demokratis. Ambil contoh adalah
partisipasi masyarakat dalam merencanakan pembangunan di tingkat paling
bawah (RT/RW) hingga Musrenbangkel; ternyata masih sering terjadi proses
perencanaan pembangunan itu yang dilakukan secara srampangan karena hanya mengejar formalitas, belum mampu menyentuh pada substansi perencanaan pembangunan.
Masih ada satu fenomena setelah
kepindahan Jokowi ke Jakarta yang perlu mendapat perhatian; hal itu
adalah euforia. Ya kemenangan Jokowi memang membuat beberapa kelompok
masyarakat meluapkan kegembiraan sebagai ungkapan kekaguman, kondisi ini
sebenarnya sah-sah saja. Akan menjadi sesuatu yang ganjil dan kurang
elegan manakala ada upaya mobilisasi pejabat publik (Camat dan Lurah)
untuk
mengungkapkan euforia itu secara masif. Apakah acara pamitan
beberapa waktu lalu masih dirasa kurang? Dengan dalih apapun; seperti
kunjungan kerja, misalnya, namun kenyataannya waktunya menjadi tidak
tepat.
Ungkapan rasa hormat, nderekaken tindak
(menghantar) ini justru menjadi kontra produkstif dengan image Jokowi
selama ini? Bukankah Jokowi dipandang berhasil memegang tampuk
pemerintahan di Solo, dan harapannya; keberhasilan itu adalah blue print
yang akan diterapkan di Jakarta? Tetapi mengapa Camat dan Lurah malah
kunker ke Jakarta Barat? Hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar; kalau
pejabat Kota Solo saja kunker ke Jakarta, lalu apa yang dapat diperbuat
Jokowi nantinya?!
Moga-moga ‘kunker’ kali ini
hanyalah upaya main-main dalam mensiasati beaya, tidak sampai menyentuh
urgensi masalah didepan tadi dan sebatas ungkapan euforia saja….
sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/16/euforia-menyambut-jokowi/501624/